HOT ALL THE TIME

cari mencari...

Jumat, 09 Maret 2012

Musik, yang Kini Mengusik


"Kami, redaksional The Karung Beras, dengan perasaan kecewa mengucapkan, selamat hari musik nasional untuk kalian para pecinta musik!"
Mengapa ada embel-embel “dengan perasaan kecewa”? Apabila kalian BENAR-BENAR seorang pecinta musik yang tahu sejarah musik nasional , tentu kalian merasakan kekecewaan yang kami rasakan. Namun, bagi kalian yang “enjoy” mendengar lirik “bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang punya anak bilang akooh ~ kasihani aquwh, tolong carikan diriku kekasih hatiquwh, siapa yang maooo?~”, tentu saja kalian tidak paham dengan rasa sakitnya hati dan telinga kami ketika lagu itu diputar. Rasa sakit yang kami rasakan bukan karena liriknya yang menyinggung kami, redaksional The Karung Beras yang sebagian besar seret jodoh, tetapi lebih karena kualitas musiknya yang tidak berbobot dengan lirik kacangan.



Wage Rudolf Suptarman
Oke, kali ini, kami akan menjelaskan sejarah musik nasional kepada kalian. Hari musik nasional ini bertepan dengan hari wafatnya Wage Rudolf Supratman (ingat, Wage Rudolf Supratman, bukan Wage Sumeru yang kalo latah suka ngomong “kasar”). Geliat musik Indonesia mulai terasa di era 60, 70, dan 80’an. Di era 90’an pun, kualitas musik Indonesia pun masih terasa “nendang” untuk didengar. Muncul nama-nama besar yang sempat mewarnai industri musik Indonesia kala itu, mulai dari The Tielman Brothers, Koes Plus, Panbers, D’Llyod, Gombloh, Bimbo, Titiek Puspa, God Bless, Iwan Fals, Chrisye, dan masih banyak deretan legenda yang tidak bisa kami sebut satu persatu. Di era 90’an pun, band-band seperti Dewa 19, Slank, Sheila on 7, Padi, Gigi, Coklat, dsb pun masih ‘merdu’ untuk didengar.

Namun kini, semua berubah semenjak sinetron “Tersanjung” tamat di Indosiar. Tidak ada lagi nada-nada indah dan suara-suara merdu yang terdengar. Hanya sedikit dan suara-suara merdu dan itu pun tidak terdengar jelas karena terlalu berisiknya suara-suara sumbang dari insane-insan musik masa kini. Joget-joget Korea yang menggangu mata, lirik-lirik Melayu yang bikin gatel gendang telinga, dan alunan-alunan dangdut masa kini yang tidak senikmat Kopi Dangdut ketika itu. Fiuh.. Untuk insan-insan musik masa kini, kami berharap, semoga kalian sadar akan dosa-dosa yang telah kalian perbuat terhadap legenda musik Indonesia.
Dan yang satu hal yang perlu diingat, “telinga kami terlalu usang untuk mendengar musik musik masa kini”. Salam redaksional.

0 comments:

Pages

Top Menu